Sabtu, 28 April 2012


    Teacher for Autism

Mengajar adalah suatu kegiatan yang menggunakan cara pengajaran dengan beberapa konsep-konsep secara sistemastis. Sebagai pendidik guru merupakan orang tua kedua bagi peserta didik yang mendidik mereka di dalam lingkungan formal seperti sekolah. Di sekolah guru adalah sebagai panutan yang bertugas merangsang, membina pertumbuhan dan perkembangan intelektual, dan sikap-sikap yang ada didalam diri anak melalui pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki pengajar atau guru.
Kemampuan guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajibannya secara bertanggungjawab dan layak. Dengan demikian, kemampuan guru merupakan kapasitas internal yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Tugas profesional guru bisa diukur dari seberapa jauh guru mendorong proses pelaksanaan pembelajaran yang efektif dan efisien. 
Lembaga formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk membantu mengembangkan potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus.  Pengajar autisme di Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dengan keterbatasan yang dalam bahasa, komunikasi dan interaksi sosial.
Autisme adalah gangguan besar yang mengakibatkan kesulitan penderitannya dalam berkomunikasi, dengan gangguan emosional, gangguan kontak mata, ekspresi wajah dan ketidak pekaan inderawinya. Ganguan sosial dan emosional pada penderita autisme pada dasarnya bukan menarik diri dari masyarakat karena pada dasarnya mereka tidak pernah bergabung dengan sepenuhnya dengan masyarakat sejak awal. Menurut Gopnik, Capps & Meltzolf (Davinson, Neale, & Kring, 2006) Beberapa anak autisme tampaknya tidak mengenali atau tidak membedakan antara orang yang satu dengan orang lain. hal ini membuat peran pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi sangat penting.


autisme is.......
Menurut Davinson, Neale, & Kring (2006) menyatakan bahwa autisme adalah sebuah selektivitas yang sangat intens sehingga dapat menciptakan duniannya sendiri, suatu tempat yang tenang dan teratur ditengah kekacauan dan kegaduhan. Sack (1995) menyatakan bahwa autisme adalah sensasi yang meningkat, kadang hingga ke tingkat yang tidak tertahankan, mentransmisikan apapun tanpa menghargai relevansinya.
Kekurangan Komunikasi Pada Penderita Autisme. Biasanya anak-anak autisme menunjukan kelemahan berkomunikasi. Mengoceh (babbing) adalah istilah yang digunakan dalam menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan para bayi dengan autisme dan menyampaikan lebih sedikit informasi dibanding pada bayi lainnya (Ricks, 1972). Salah satu ciri lainya adalah Ekolalia, dimana si anak mengulangi kata biasanya dengan kecepatan luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya dan biasanya beberapa jam kemudian atau bahkan keesokan harinya. Ekolalia tidak memiliki tujuan fungsional, meskipun demikian ekolalia merupakan upaya untuk berkomunikasi. Abnormalitas bahasa lainya yang umum terdapat dalam pembicaraan anak-anak autisme adalah pembalikan kata ganti. Anak-anak merujuk dirinya sendiri dengan kata ganti “ia”, ”dia”, atau “kamu” atau dengan menyebut nama mereka sendiri. Pembalikan kata ganti berkaitan erat dengan ekolalia. Karena anak-anak autisme sering kali berbicara ekolalik, mereka merujuk diri sendiri seperti mereka dengar ketika orang lain berbicara tentang mereka dan salah menerapkan kata ganti tersebut  (Davinson, Neale, & Kring, 2006).

Selasa, 24 April 2012

Rumah Tanpa Jendela

Sinopsis “ Rumah Tanpa Jendela “




Rara adalah gadis kecil berusia 8 tahun, rara sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di Menteng Pulo, Jakarta.
Si Mbok adalah nenek Rara yang sakit-sakitan dan ayahnya bernama Raga yang berjualan ikan hias dan tukang sol sepatu, tidak cukup punya uang untuk membuat atau membeli bahkan hanya selembar daun jendela dan kusennya saja. Rara juga punya Bude, yaitu Bude Asih.
Bersama teman-temannya sesama anak pemulung, sebelum pergi ngamen atau ngojek payung jika hari sedang hujan, Rara menyempatkan untuk sekolah di tempat sederhana yang khusus untuk anak jalanan. Bu Alya satu-satunya pengajar sukarelawan disekolah itu yang membimbing dan membina anak-anak pemulung agar dapat mengenal huruf dan dapat berhitung.
Di tempat lain, di perumahan mewah kota Jakarta, Aldo seorang anak lelaki berusia 11 tahun yang sedikit mengalami keterbelakangan mental, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahril dan Nyonya Ratna . Kehadiran Nek Aisyah menjadi penghiburan untuk Aldo. Nek Aisyah sangat menyayanginya. Di antara keluarga yang dimiliki aldo hanya nek aisyah yang sangat mengerti aldo. Kaka aldo sempat menolak memiliki adik seperti aldo, hingga sang kakak malu memiliki adik yang mengalami keterbelakangan mental.
Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung dan terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab. Sejak pertemuan itu aldo dan rara menjadi sahabat dimana rara sebagai teman terdekat yang dimiliki aldo,karena jarang ada yang berteman dengan aldo karena aldo memiliki kelainan. Kepada rara aldo menceritakan segala apa yang dirasakan aldo mulai dari penghinaan,pengkucilan dan pengasingan yang dirasakan aldo, rara adalah teman yang baik yang dimiliki aldo,rara selalu memberikan semangat pada aldo untuk selalu percaya diri dan tidak bersedih. Rara membuat aldo yakin bahwa apa yang dimiliki aldo sangat berarti dari pada yang dimilki oleh rara. Rara menceritakan pada aldo keinginannya mempunyai rumah dengan jendela yang banyak dan di kelilingi tanamanan. Namun, ayah rara yang berpenghasilan minim dan lingkungan rumah yang tidak memungkinkan rara memiliki rumah indah sesuai impiannya. Rara mengajarkan lewat impiannya bahwa kita harus berani bermimpi dan berharap walaupun di atas kekurangan yang kita miliki. Hingga suatu hari Perkampungan kumuh tempat Rara tinggal terjadi kebakaran, sementara di rumah Aldo semua panik karena karena Aldo meninggalkan rumah, aldo pergi karena kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya.
Saat itu aldo pergi dan memilih untuk pergi kerumah rara. Namun disana sedang terjadi kebakaran dan aldo sulit menemukan rara. Saat itulah aldo pergi menuju sekolahnya. Disaat itu aldo merasa bahwa dirinya tak berdaya dan sangat menyusahkan orang lain. Pada raralah aldo menceritakan apa yang ia inginkan begitu pula sebaliknya. Saat itu aldo memberikan kesempatan pada rara untuk tinggal dirumah aldo yang ketika itu rara ditinggalkan oleh ayahnya selama-lamanya. Sebelum terjadi kebakaran ayah rara mempersiapkan sebuah jendela untuk rara,namun tuhan berkata lain rara harus kehilangan ayahnya sekaligus rumahnya.
Dari film diatas dapat kita simpulkan bahwa, didalam kehidupan kita harus menerima dengan ikhlas apa yang sudah digariskan oleh tuhan pada kita. Dan kita harus tetap melakukan yang terbaik demi orang yang kita sayangi,dan jangan pernah berhenti untuk bermimpi walaupun kenyataannya kita tahu sulit untuk bermimpi dan mewujudkannya. Dan orang yang mengalami keterbelakangan juga memilki perasaan yang sama seperti orang normal lainnya dan ia juga membutuhkan perhatian dan pengakuan dari keluarga teman,dan lingkungan untuk menmbuhkan rasa percaya diri padanya. Dan sebuah kebahagian tidak dilihat dari apa yang tampak saja namun sesungguhnya kebahagian adalah dimana kita merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang kita miliki…… J

Nama : “ Resya Buari Dwi Widiani “    3PA01 …….. NPM : 10509068

Sabtu, 14 April 2012

What is Autisme

Menurut DSM-III-R, DSM-IV, dan DSM-IV-TR autisme merupakan istilah gangguan perkembangan Pervasif. Istilah ini menekankan bahwa autisme mencakup abnormalitas serius dalam proses perkembangan itu sendiri sehingga berbeda dengan berbagai gangguan jiwa yang berawal di masa dewasa.
Menurut suryana (dalam rachmayanti & zulkaida,) menyatakan bahwa Autisme  didefinisikan sebagai suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infantile, gejalanya sudah ada sejak lahir. Anak penyandang autis mempunyai masalah gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi.
Menurut Kanner (dalam Berkell, 1992) mendeskripsikan gangguan autisme dengan tiga  kriteria umum yaitu adanya gangguan pada hubungan interpersonal, gangguan pada perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah laku yang sama secara berulang-ulang.
Menurut Sutadi (2004), autisme sebenarnya adalah suatu gangguan perkembangan neurobiologist yang berat atau luas. Sedangkan menurut Handojo (dalam sari, 2006) menyatakan bahwa Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi. Sehingga pada anak penyandang autisme tersebut mempunyai masalah atau ganguan dalam bidang komunikasi, perilaku, interaksi sosial dan emosi.
            Menurut Karner (Davinson, Neale, & Kring, 2006) menyatakan bahwa autisme adalah seseorang yang memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan memiliki keinginan obsesif yang kuat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka tetap persisi sama. Anak yang autisme bersikap tidak memperdulikan,mengabaikan,menutup diri dari segala hal yang berasal dari luar dirinya.

GANGUAN AUTISME

Menurut capps dkk (Davinson, Neale, & Kring, 2006) menyatakan bahwa anak-anak dengan autisme yang memiliki keberfungsian tinggi menemukan bahwa meskipun anak-anak tersebut dapat menunjukan sedikit pemahaman terhadap emosi orang lain, mereka tidak sepenuhnya memahami mengapa dan bagaimana orang lain dapat merasakan berbagai emosi yang berbeda.
Pada dasarnya anak autisme bukan menarik diri dari masyarakat karena pada dasarnya mereka tidak pernah bergabung dengan sepenuhnya dengan masyarakat sejak awal.  Anak-anak dengan autisme mengalami masalah keterampilan sosial yang berat. Mereka jarang mendekati orang lain dan pandangan mata mereka seolah melewati orang lain atau membalikan badan (Hobson & Lee, 1998). Biasanya anak-anak yang berkembang secara normal menatap untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, anak-anak dengan gangguan autisme umumnya tidak demikian. Observasi terhadap perilaku bermain spontan dalam situasi yang tidak terstuktur mengungkaap bahwa anak-anak dengan autisme menggunakan waktu jauh lebih sedikit untuk melakukan permainan simbolik, seperti memainkan boneka (Sigman dkk, 1987).
Menurut Gopnik, Capps & Meltzolf (Davinson, Neale, & Kring, 2006) Beberapa anak autisme tampaknya tidak mengenali atau tidak membedakan antara orang yang satu dengan orang lain. Baru-baru ini beberapa peneliti berpendapat bahwa kelemahan “teori pikiran” pada anak autisme mencerminkan kelemahan utama dan memicu terjadinya berbagai jenis disfungsi sosial. Meskipun anak-anak autisme yang memiliki keberfungsian tinggi dapat belajar untuk mengerti pengalaman emosional seperti anak-anak normal menjawab soal-soal aritmatik yang sulit dengan mengupayakan dan mengkonsentrasikan upaya kognitifnya.

DIMENSI

Menurut Bar-On (Iskandar, 2009) kecerdasan emosional menampilkan lima dimensi sebagai berikut :
a.      Intrapersonal EQ
(1). Self Regard merupakan kemampuan untuk dapat menghargai dan menerima sifat dasar pribadi yang pada dasarnya baik.
(2). Emotional Self Awareness merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri.
(3). Assertiveness merupakan kemampuan untuk mengeksperesikan perasaan, keyakinan,dan pemikiran serta mempertahankan hak pribadi secara konstuktif.
(4). Independence merupakan kemampuan untuk dapat mengarahkan dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta menjadi lebih bebas secara emosional.
(5).  Self Actualization merupakan kemampuan menyadari kapasitas potensi diri.
b.      Interpersonal EQ
(1). Empathy merupakan kemampuan memahami,mengerti,serta menghargai perasaan orang lain.
(2). Social Responsibility merupakan kemampuan untuk menampilkan diri secara kooperatif,kontributif,dan konstruktif sebagai anggota kelompok masyarakat.
(3). Interpersonal Relationship merupakan kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan yang tercermin dari kedekatan afektif serta keinginan untuk saling memberi dan menerima.
c.       Adaptability EQ
(1). Reality Testing merupakan kemampuan untuk menghubungkan antara pengalaman dan kondisi saat ini secara objektif.
(2). Flexibility merupakan kemampuan untuk menyesuaikan emosi, pemikiran, dan sikap terhadap perubahan suatu situasi dan kondisi.
(3). Problem Solving merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hingga mendapatkan dan menerapkan solusi secara efektif.
d.      Stress management EQ
(1). Stress Tolerance merupakan kemampuan untuk menghadapi kejadian dan situasi yang penuh tekanan, dan menanganinya secara aktif dan positif tanpa harus terjatuh.
(2). Impulse control merupakan kemampuan untuk menunda keinginan, drive dan dorongan untuk bertindak.
e.       General Mood EQ
(1). Optimism merupakan kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan dan memilihara sikap positif, meski disaat yang tidak menyenangkan.
(2). Happiness merupakan kemampuan untuk merasa puas akan kehidupan pribadi dan orang lain, bersenang-senang dan mengekspresikan emosi yang positif.

kecerdasan emosional

Dalam kamus psikologi menurut Chaplin mendefinisikan Emosional adalah suatu hal yang berkaitan dengan ekspresi emosi atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam menyertai emosi dan mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan tingkah laku emosional. Kecerdasan emosional sendiri adalah kemampuan merasakan,memahami,dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,informasi,koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Tanpa adanya kecerdasan emosional maka orang tidak akan mampu menggunakan keterampilan kognitif mereka sesuai dengan potensinya yang maksimal.  
            Menurut Goleman (1999) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengelola perasaan (emosi) nya, antara lain bagaimana seseorang dapat memotivasi dirinya dan orang lain. Sedangkan menurut Cooper & Ayman Sawak (1999) berpendapat kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra,memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketaqwaan emosi  sebagai sumber energi,informasi dan pengaruh.
Menurut Goleman (Iskandar,2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat antar-pribadi lebih menekankan pada aspek kognisi atau pemahaman.
           jadi dapat  disimpulkan bahwa memilki kecerdasan emosional sangat berpengaruh terhadap langkah kehidupan yang tepat yang dapat kita ambil. kecerdasan emosional sangat penting untuk menimbang apa yang harus kita lakukan dan sebagai pengontrol pribadi  

Rabu, 04 April 2012

PSIKOTERAPI (Pikoanalisis)

Psikoterapi adalah suatu interaksi social dimana seseorang professional terlatih mencoba membantu orang lain,yaitu klien atau pasien,untuk berperilaku dan berperasaan secara beda. Asumsi dasar nya adalah bahwa interaksi verbal dan non verbal tertentu yang terjadi dalam hubungan saling percaya dapat mencapai berbagai tujuan seperti mengurangi kecemasan dan menghilangkan perilaku yang merusak diri sendiri atau berbahaya.
Psikoanalisis sendiri lebih menekankan pada kerja Id,Ego dan super ego.
Sedangkan psikoterapi dengan pendekatan psikoanalisis adalah upaya yang di lakukan untuk membantu individu dalam memecahkan masalah yang terjadi pada dirinya dengan menghapus represi dalam mencegah ego.
Konsep terpenting bagi para psikoalisis adalah konsep transferensi.  Freud mencermati bahwa para pasien nya kadang bertingkah laku secara tidak realistis dan penuh dengan emosi.
Transferensi sikap dan perasaan kemudian dianggap sebagai aspek yang tak terhindarkan dalam psikoanalisis,sebagai cara menjelaskan kepada pasien bahwa banyak kekhawatiran dan ketakutan yang mereka rasakan bersumber di masa kanak-kanak ( dimasa lalu) dalam pendekatan ini terapis berusaha merepres masalah yang dialami oleh klient,melihat apa yang menyebabkan masalah itu terjadi di masa lalu dari klien.  Para analis menekankan berbagai fungsi ego yang utamanya bersifat sadar, yang mampu mengendalikan insting-insting id serta lingkungan dan yang bekerja dengan menggunakan energinya sendiri.
Salah satu metode yang digunakan adalah asosiasi bebas dimana klien di posisikan duduk (keadaan yang di rasa nyaman) secara nyaman dan di dorong untuk memberikan asosiasi secara bebas terhadap pikiran dan perasaan dan menggungkapkan dalam kata-kata apapun yang terlintas dalam pikiran nya.
Selanjutnya adalah analisis mimpi yaitu dimana terapis membimbing klien untuk mengingat,kemudian menganalisis mimpi-mimpinya,dengan asumsi bahwa dalam keadaan tidur pertahanan ego melemah sehingga berbagai hal yang di repress dapat muncul ke permukaan,biasanya dalam bentuk samar-samar.
           Interpretasi adalah keadaan dimana terapis membantu klien untuk menghadapi konflik yang di penuhi oleh beban emosional yang sebelumnya di repress dan membantu klien menghadapi masalah hingga klien dapat membuat pertahanan dan makna yang baik yang tersimpan di balik mimpi-mimpi,perasaan,pikiran dan tindakan nya. 
Pada inti nya terapis dengan pendekatan psikoanalisis lebih memperhatikan kehidupan pasien dimasa sekarang,meskipun terkadang mereka mengikuti psikoanalisi klasik yang melihat penyebab di masa lalu terapis juga menggunakan metode asosiasi bebas,analisis mimpi dan interpretasi sebagai metode penanganan nya.
  sumber penulisan : Buku Paket Psikologi Abnormal (Aronson dkk)