Kamis, 14 Juni 2012

Konseling multikultural


                         Konseling  multikultural
Pengalaman Amerika Serikat dengan kondisi masyarakatnya yang bersifat multikultural dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada konfigurasi budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan bimbingan dan konseling yang lebih bersifat generik. Penggunaan berbagai pendekatan dan teknik  diharapkan mampu memberikan layanan yang lebih efektif dalam kondisi pluralitas budaya. Dalam kaitan dengan bimbingan dan konseling pendekatan budaya ini sangat tepat untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Di Amerika Serikat yang berbudaya pluralistik, dikembangkan pendekatan konseling yang disebut “multicultural counseling”. Paul B. Pederson (1991) menyebutkan “multicultural counseling” sebagai pendekatan generik dalam konseling. Pederson mengelompokkan multicultural counseling ke dalam  angkatan keempat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari  ketiga angkatan  pendekatan sebelumnya yaitu psychodynamic, behavioral, dan humanistic. Dikatakan selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat derajat, bandingan, atau peringkat atau sebutan lebih baik atau lebih jelek antara satu dengan lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya. Perspektif pendekatan multikultural memberikan kombinasi antara pandangan universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan bahwa perilaku dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik,  dan mencari kesamaan landasan  antar  budaya. Dengan mengutip pendapat Brislin (1990), Pederson (1991) menyebutkan ada tujuh aspek budaya pada diri individu yaitu: (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, (3) pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi, (4) sosialisasi anak-anak ke kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, (7) rasa tidak berdaya atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
  Courtland Lee seorang professor dalam bidang konseling multikultural berdasarkan pengalamannnya. dalam bidang multikultural, menyebutkan adanya lima kearifan yang dapat dijadikan landasan konseling yang berbasis multikultural  Kelima kearifan itu adalah: ”(1) Respect your client’s belief in the power of the healer, (2) Promote a holistic perspective, (3) Emphasize the psycholospiritual dimension of the client’s reality, (4) Adopt an active helping role, (5) Accept cultural difference as merely difference and not deviation”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar